Saat itu (23 Agustus 2017), saya seharian mendampingi KH. Maruf Amin dan rombongan mengunjungi beberapa tempat penting di Belanda bagian utara. Sembari menikmati teh di Zaanse Schans, kami berbincang-bincang ringan. Saya belajar banyak tentang pemikiran beliau yang, bagi saya, mengandung ketajaman cakrawala dan keluasan perspektif.
Sungguh, banyak pertanyaan yang tersimpan dalam hati yang ingin saya luapkan. Terus terang, saya seringkali juga merasa tidak nyaman dengan, misalnya, fatwa-fatwa MUI. Pada saat yang sama, saya menyadari bahwa posisi beliau sebagai pemimpin tertinggi (Rais Aam) ormas Islam terbesar di tanah air, NU, tentu bukan urusan simpel. Sebagai santri, tanpa diragukan, saya takdhim pada ilmu dan hikmah para kiai. Ini harga mati hehe
Selama ini, publik mengenal beliau melalui pernyataan-pernyataan di media atau lewat fatwa-fatwa. Dari situ, publik (termasuk saya) dengan mudah melakukan identifikasi dengan cap “konservatif”, “normatif” atau “kanan”. Saya baru terperangah ketika beliau menjelaskan konteks “drama” 212. Bagaimana mengelola emosi umat, menjaga hubungan dengan kekuasaan, menempatkan marwah NU, dan seterusnya.
Sebenarnya saya sudah lama mendengar ini, dari orang dekat beliau. Tapi saat itu saya kurang yakin. Hari ini saya mendapatkan semuanya. Di balik semua itu, ternyata tersimpan sejumlah rasionalisasi dan nalar politik yang rumit. Tidak cukup dipahami dalam cara pandang biner, hitam-putih, pro-kontra Ahok.
Tentu saya tidak terlepas dari subyektifitas. Tetapi dari hasil obrolan ringan dan ceramah di PPME Al-Ikhlas Amsterdam tadi sore, saya mendapatkan betapa orientasi dan visi keagamaan, kebangsaan, dan ekonomi umat menjadi penanda penting.
Pertama, keagamaan di sini dipahami dalam kerangka “menjaga akidah umat dari pemikiran tekstualis dan sekaligus liberal.” Beliau menggunakan istilah “ananiyah jama’iyyah” atau “ashabiyyah jama’iyyah” untuk menyebut kelompok yang gemar menggunakan dalil naqli an sich untuk mengkafirkan. Begitu juga sebaliknya, kelompok liberal yang terlalu mengagungkan kekuatan nalar. Sebagai Rais Aam, sering kali beliau menegaskan bahwa NU ditopang oleh tiga pilar: wasathiyyah (moderasi), tathawwuriyah (dinamis), dan manhajiyyah (berprinsip).
Kedua, kebangsaan dipahami dalam konteks Indonesia sebagai dar al-sulh (negara perjanjian) atau dar al-‘ahd (negara kesepakatan), bukan dar al-islam (negara islam) atau dar al-harb (negara perang). Posisi ini merupakan keniscayaan karena Indonesia berdiri di atas keragaman agama, suku, bahasa, dan lainnya. Segala upaya apapun untuk merubah fondasi negara ini harus dilawan. Menjaga kedaulatan sulh atau ‘ahd ini merupakan bagian tak terpisahkan dari kewajiban agama.
Ketiga, terkait ekonomi umat, dalam beberapa pertemuan dengan Presiden di istana, beliau menegaskan problem kemiskinan dan kesenjangan sosial yang masih melanda. Ekonomi hanya dikuasai konglomerasi, tidak dinikmati rakyat secara merata. Ketika berbicara rakyat, kaum santri termasuk di dalamnya. Karennya, beberapa saat lalu ada gerakan “Mari Bung, rebut kembali!”. Ini ikhtiar serius yang digerakkan oleh para kiai, berbasis pesantren, untuk menggerakkan ekonomi umat.
Terakhir, saya meyakini bahwa pendekatan kultural dan diplomasi kebudayaan berbasis kearifan lokal merupakan cara paling efektif untuk meredam gejolak politik di tanah air. Dan, cara inilah, yang menurut saya sedang digunakan oleh Pak Jokowi. NU, dan mungkin ormas keagamaan lain, memiliki peran strategis pada ranah ini.
bangkitmedia.com | Fauzi Muhammad Latif, Mahasiswa Doktoral di Universitas Leiden Belanda, Pengurus PCI NU Belanda.