Melalui ayat tersebut Allah ﷻ memerintahkan manusia untuk bergembira dengan datangnya karunia Allah berupa Islam dan rahmat-Nya berupa Al-Quran. Perintah untuk bergembira tersebut dapat dimengerti sebab Islam adalah petunjuk yang menunjukkan manusia jalan yang benar, sedang Al-Qur'an adalah petunjuk yang mengajarkan manusia tentang kebenaran. Dengan keduanya manusia akan dapat meraih kebahagiaan yang paripurna yang tidak akan dicapai dengan mengumpulkan harta dunia seberapa pun banyaknya.
Sementara itu, Islam dan Al-Quran tidaklah hadir di muka bumi ini melainkan lewat lisan Baginda Rasulullah ﷺ. Karenanya, kegembiraan dengan kelahiran (maulid) Rasulullah ﷺ hakikatnya merupakan bagian dari kegembiraan atas datangnya Islam dan turunnya al-Qur'an. Bahkan, Imam Ibn Abbas radhiyallah 'anhu menjelaskan bahwa yang dimaksud 'rahmat' dalam ayat tersebut adalah Rasulullah ﷺ. Ini sebagaimana yang disebutkan pada ayat lain "Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam" (QS al-Anbiya [21]:107).
Imam Ibnu Katsir menafsiri, "Allah Ta'ala memberitahukan bahwasanya Dia mengutus Nabi Muhammad ﷺ sebagai rahmat bagi seluruh alam dan nikmat bagi manusia, maka barangsiapa yang menerimanya dan mensyukurinya ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan barangsiapa yang menolaknya serta mengingkarinya ia akan merugi di dunia dan akhirat". Dari sini jelas kiranya kenapa kemudian kelahiran Baginda Rasulullah ﷺ harus disyukuri, diperingati, dan dirayakan dengan sepenuh suka cita.
Pertama, apabila yang dimaksud dengan "memperingati" adalah memperingati secara mutlak, yakni tanpa membatasi bagaimana ekspresi peringatannya, maka Rasulullah ﷺ telah mempraktikannya. Beliau adalah orang pertama yang memperingati hari kelahirannya. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan kesunahan puasa hari senin beliau menjelaskan, "Hari itu adalah hari kelahiranku". Hadits tersebut menginformasikan bahwa Rasulullah ﷺ memperingati hari kelahirannya, yakni hari senin, dengan cara berpuasa.
Kemudian dalam hadits lain Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ suatu ketika mengunjungi Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa di hari 'Asyura. Beliau ﷺ bertanya kepada mereka tentang puasa yang dilakukannya, mereka menjawab, "Ini adalah hari dimana Allah telah menenggelamkan Fir'aun dan menyelamatkan Musa darinya, sebab itulah kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah.". Rasulullah ﷺ lalu berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa karena beliau dan umat Islam merasa lebih berhak untuk memperingatinya daripada orang-orang Yahudi.
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani mengomentari hadits tersebut, "Dari hadits tadi dapat diambil kesimpulan bahwa diperbolehkan mengekspresikan rasa syukur kepada Allah pada hari tertentu yang di situ dilimpahkan nikmat atau diselamatkan dari mara bahaya, dan hal itu dilakukan pada setiap tahun bertepatan dengan hari tersebut. Adapun rasa syukur itu bisa diekspresikan dengan berbagai ibadah seperti sujud syukur, puasa, sedekah, atau membaca Al-Qur'an. Lalu adakah nikmat yang lebih agung dari kelahiran sang Nabi yang menjadi rahmat?".
Peringatan-peringatan di atas juga sejalan dengan firman Allah ﷻ., "Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah" (QS Ibrahim [14]:5). Maksud dari "hari-hari Allah" adalah peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di antara umat-umat terdahulu berupa nikmat dan siksaan yang dialami mereka. Dan tidak ada kesangsian bahwasanya kelahiran Rasulullah ﷺ adalah termasuk "hari-hari Allah" bahkan yang paling agung di antaranya sehingga peringatan atasnya adalah suatu ibadah yang utama.
Kedua, apabila yang dimaksud dengan "memperingati" adalah memperingati dalam rupa perayaan (ihtifal) tertentu sebagaimana yang dilakukan kebanyakan umat muslim sekarang dengan berkumpul membaca kisah hidup beliau, bersedekah, berdzikir, membaca Al-Qur'an dan sebagainya, maka peringatan semacam itu merupakan hal baru (bid'ah) yang tidak dilakukan di masa Nabi ﷺ bahkan di masa generasi al-salaf al-shalih setelah beliau. Al-Hafizh Imam al-Sakhawi mengatakan, "Perayaan Maulid baru ada setelah kurun ketiga Hijriyah. Perayaan tersebut kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia dan kota-kota besar. Orang-orang bersedekah di malam harinya dengan berbagai macam jenis sedekah dan melakukan pembacaan Maulid Rasulullah ﷺ yang mulia. Saat itu, nampaklah bagi mereka karunia yang sempurna dan melimpah sebab berkahnya Maulid." Namun demikian, meski perayaan Maulid Nabi disebut sebagai bid'ah, ia masuk dalam kategori bid'ah yang baik (bid'ah hasanah) yang tentunya akan berpahala manakala dilakukan dengan niatan taqarrub. Perayaan Maulid dikategorikan sebagai bid'ah hasanah berdasarkan beberapa alasan berikut:
1. Maksud dari perayaan Maulid adalah mengingat kelahiran manusia termulia Baginda Rasulullah ﷺ, dan hal semacam itu telah dicontohkan sendiri oleh beliau ﷺ.
2. Rasulullah ﷺ adalah rahmat yang layak untuk disyukuri dan disambut dengan kegembiraan, sementara syariat tidak membatasi bagaimana ekspresi rasa syukur dan kegembiraan itu asalkan tidak menimbulkan kemungkaran dan kerusakan.
3. Allah ﷻ. memerintahkan umat Islam untuk mengingat hari-hari-Nya, dan menyelenggarakan perayaan (ihtifal) kelahiran Rasulullah ﷺ merupakan salah satu upaya untuk "mengingat" hari-hari-Nya.
4. Berkumpul membaca kisah kehidupan beliau yang mulia, bersedekah, berdzikir, membaca Al Qur'an, menyelenggarakan pengajian adalah hal baik dan mempunyai banyak sekali manfaat terlebih di zaman sekarang. Ada banyak sekali nushus al-syari'at yang menjelaskan tentang keutamaan bersedekah, berdzikir, membaca Al-Qur'an, dan mengaji.
5. Perayaan Maulid tidak pernah dilakukan oleh al-salaf al-shalih sebab saat itu mereka disibukkan dengan urusan penguatan kaedah-kaedah agama dan rukun-rukunnya, perluasan wilayah Islam (ekspansi), dan menolak gangguan musuh-musuh Islam yang mencoba menghalang-halangi dakwah Islam sehingga tidak terlintas dalam pikiran mereka gagasan untuk merayakan Maulid.
Di akhir tulisan, penulis kutipkan syair dari al-Hafizh Imam Syamsudin al-Dimasyqi di dalam kitab Maurid al-Shadi fi Maulid al-Hadi tentang kisah Abu Lahab yang mendapatkan keringanan azab setiap hari senin disebabkan saat Rasulullah ﷺ lahir ia turut merasa gembira yang lalu diekspresikannya dengan memerdekakan seorang budak. Imam al-Dimasyqi bersenandung,
إذا كان كافرا جاء ذمه * وتبّت يداه في الجحيم مخلّدا
أتى أنه في يوم الإثنين دائما * يخفّف عنه للسرور بأحمد
فما ظنّ بالعبد الذي كان عمره * بأحمد مسرورا ومات موحّدا
Jika ia (Abu Lahab) seorang kafir yang layak dicela,
yang binasa kedua tangannya dan kekal di neraka Jahim,
setiap hari senin untuk selama-lamanya,
azabnya diringankan karena gembira dengan (kelahiran) Ahmad
Lalu bagaimana prasangkamu dengan seorang hamba yang sepanjang umurnya,
bergembira dengan (kelahiran) Ahmad ﷺ padahal ia mati dalam keadaan bertauhid (mukmin)?
Semoga kita semua diberi kesemangatan dalam bermaulid, dan semoga kita mendapat keberkahan di bulan Maulid yang mulia ini. Wallahu Ta'ala 'Ala wa A'lam.
www.nu.or.id | Muhammad Habib Mustofa, Ketua Rijalul Ansor PAC Losari Brebes & Dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Sumber rujukan :
Al-Bayan al-Qawim karya Syekh Ali Jumuah
Al-Ibda' fi Madhar al-Ibtida' karya Syekh Ali Mahfuzh
Al-Syari'ah wa al-Hayat, hasil wawancara dengan Syekh Wahbah al-Zuhaili
Haula al-Ihtifal karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki
Muhammad Rasulullah shallallah a'laihi wa sallam karya Syekh Muhammad Ridha
Tafsir Al-Qur'an al-'Azhim karya Imam Ibnu Katsir
Tafsir Jami' al-Bayan karya Imam al-Thabari