Ulama Indonesia Tidak Akan Melecehkan Pancasila

Ulama Indonesia Tidak Akan Melecehkan Pancasila
Sejak dulu, ulama Indonesia telah mengakui Pancasila sebagai falsafah/dasar negara Indonesia. Bahkan ulama Indonesia adalah bagian dari mereka yang merumuskan Pancasila. Hal ini karena Pancasila merupakan konsensus bagi pelbagai arus ideologi politik, keragaman agama dan suku di negeri ini. Para pendiri bangsa menjadikan Pancasila sebagai pondasi bagi prosedur demokrasi yang meniscayakan kompetisi, pergulatan, dan perdebatan.

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menjadi dua organisasi keislaman terbesar yang memainkan peran-peran masyarakat sipil yang mengakui Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. Keduanya secara vertikal melakukan kontrol terhadap negara, tetapi juga melakukan pemberdayaan masyarakat secara horizontal. Peran kedua ormas ini sangat membantu terciptanya masyarakat Indonesia yang damai dengan berlandaskan prinsip-prinsip Pancasila.

Faktanya, NU sudah lama memutuskan bahwa Pancasila final sebagai ideologi negara Indonesia. Keputusan tersebut termaktub pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo 1984, bahwa Pancasila adalah ideologi negara. Para ulama NU memandang Pancasila sebagai falsafah yang memperkuat bangsa Indonesia.

Jika falsafah (Pancasila) bangsa goyah, maka goyah pula negara dan bangsa Indonesia. Ideologi dan kelompok anti Pancasila seperti Hizbut tahrir dan FPI merupakan ancaman nyata bagi keutuhan bangsa dan negara. Begitu juga Muhammadiyah yang menerima Pancasila sebagai ideologi negara setelah terbitnya Undang-undang nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan.

Menurut ulama Muhammadiyah, Negara Pancasila adalah “Daarul ‘Ahdi Was Syahadah” yang artinya negara Pancasila sebagai konsensus nasional (daar al’ahdi) dan tempat kesaksian (daar al-syahaadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (daar as salaam) menuju kehidupan yang maju berdaulat dalam naungan ridha Allah SWT.

Bahkan pada level kemasyarakatan, organisasi-organisasi Islam Washatiyah (moderat) di Indonesia yang umumnya berdiri jauh sebelum kemerdekan Republik Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Watan, al-Khairat, dan lain-lain telah lama berkomitmen setia kepada Pancasila sebagai common platform dan dasar negara RI sekaligus landasan utama pluralisme masyarakat di negara bangsa Indonesia.

Semua organisasi ini -–di tengah perubahan politik Indonesia—  mengambil “jalan tengah” tidak hanya dalam pemahaman dan praksis keagamaannya, tetapi juga dalam sikap sosial, budaya dan politiknya.

Berkat kehadiran ormas ini Indonesia mampu tegak berdiri kokoh dari ancaman kelompok-kelompok radikal dan fundamental yang menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan Indonesia. Para ulama Indonesia berpegang teguh pada adagium hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman).

Ulama-ulama Indonesia menyadari bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka, kebhinekaan telah menjadi potret yang menonjol dari negeri ini. Bahkan J.S. Furnival, sosiolog terkemuka, mengatakan bahwa saat orang-orang Eropa sedang menghadapi berbagai macam persoalan dengan kebhinekaan, terutama pada tahun 30-an dan 40-an, Indonesia telah menjelma sebagai bangsa yang mampu menerima kebhinekaan.

Maka dari itu, peneguhan Pancasila sebagai ideologi negara sangat penting. Sama pentingnya dengan komitmen pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan konstutusi negara. Sebagaimana pidato Megawati dalam ulang tahun ke-44 PDI-P yang mengatakan bahwa Pancasila menjadi rumah besar kebangsaan dan tempat bernaung keberagaman Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.

Penista Pancasila

Sungguh sangat disayangkan jika ada individu atau komunitas yang mengklaim ulama tetapi menghina dan melecehkan Pancasila. Padahal, ulama adalah sosok panutan bagi umat yang tidak pernah sedikitpun menolak, apalagi menghina Pancasila.

Namun kini banyak individu maupun kelompok yang mengklaim dirinya ulama, namun tingkahnya bertolak belakang dengan keulamaan seseorang. Hal ini bisa kita lihat dari tindakan-tindakannya yang kerap membuat resah masyarakat.

Kelompok-kelompok ini kerap membuat perpecahan di tengah keberagaman masyarakat Indonesia dengan membangun opini melalui isu yang berkaitan dengan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA). Bahkan mereka kerap membuat keonaran dan kekerasan yang jelas-jelas meresahkan masyarakat. Berulang kali tindakan kekerasannya mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.

Kelompok radikal benar-benar menyebarluaskan permusuhan dan kebencian dengan melontarkan pernyataan dengan kata-kata kotor, seperti “bego”, “harus dibunuh”, “disalib”, “dipotong tangannya” dll. Perkataan dan tindakan ini tidak sedikitpun mencerminkan dirinya sebagai komunitas para ulama.

Padahal menurut Ibnu Katsir, ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan ilmu agama, dan pengetahuan yang dimilikinya diimplementasikan ke dalam hati, ucapan dan tingkat lakunya yang ramah dan lembut. Mereka dalam kesehariannya berdakwah dengan jalan damai, santun dan senantiasa menebar rahmat bagi siapapun.

Ulama mencerminkan kandungan ajaran dalam al-Quran sehingga tidak mungkin bertindak dengan aksi-aksi kekerasan. Karena perilaku kekerasan adalah simbol kebiadaban. Jika ada ulama yang berkata kotor, berperilaku anarkis dan menghina Pancasila, maka patut dipertanyan kredibilitasnya sebagai seorang ulama.

Tindakan Rizieq yang diduga menghina Pancasila adalah cerminan dari leluasanya kelompok radikal menebar kebencian dan merusak persatuan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah jangan pernah bermain-main dengan individu ataupun kelompok anti Pancasila. Sebelum nasi menjadi bubur, pemerintah dan aparat penegak hukum mesti menindak tegas perusak persatuan bangsa.

www.qureta.com | Ahmad Hifni