Berbeda ala Gus Dur dengan Gus Sholah

Hubungan kakak beradik, Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur  dan Kiai Haji Sholahudin Wahid alias Gus Sholah tergolong unik. Secara nasab sama persis. Keduanya putra pahlawan Nasional, Menteri Agama pertama, dan pengasuh Pondok Tebuireng. Kiai Haji Wahid Hasyim. Cucu muassis Nahdlatul Ulama (NU), pahlawan Nasional, dan pendiri Pondok Tebuireng, Hadratussyaikh M. Hasyim Asy’ari.

Namun, keduanya memiliki penilaian diametral berkaitan dengan pandangan politik keislaman sang ayah. Terutama, terkait hubungan Agama dan Negara. Keduanya berdebat secara terbuka. Perdebatan tak berlangsung di meja makan, ruang keluarga atau serambi masjid Pondok Tebuireng. Melainkan berlangsung di Koran Media Indonesia, sepanjang Oktober 1998.

Tulisan ditanggapi dengan tulisan, sehingga publik bisa membaca dan merekam perdebatan keduanya. Banyak yang tercengang, risih, dan tidak siap menyaksikan perdebatan dua tokoh mereka. Bagi kalangan yang tidak siap, keduanya ditengarai berkonflik dan bermusuhan.

“Sampai-sampai pernah terdengar penuturan, “apa keduanya sudah tidak bisa ketemu lagi?”” tulis Saifullah Ma’shum dalam buku KH. A. Wahid Hasyim dalam Pandangan Dua Puteranya (2015: vi).

Perdebatan berawal dari tulisan Gus Dur berjudul A. Wahid Hasyim, NU dan Islam, pada 8-9 Oktober 1998 di Media Indonesia. Gus Dur menyampaikan sikap KH. A. Wahid Hasyim yang memberikan supremasi Pancasila sebagai dasar Negara atas hukum Islam. Hukum Islam disandarkan pada Pancasila yang menjadi dasar Negara. Gus Dur peroleh sikap sang ayah dari Suwarno, pengawal pribadi Jenderal Besar Soedirman. Selama mengawal Panglima Soedirman, Suwarno kerap bertemu KH. Wahid Hasyim dan merekam obrolan kedua tokoh.

Gus Dur juga mengetahuinya dari kesaksian mantan Menteri Agama Munawir Syadzali. Mengisahkan kejengahan KH. Wahid Hasyim berhadapan pandangan “konservatif” para Kiai yang bersandar pada syari’ah dan terutama ulama tersebut tidak tertarik pada Pancasila (2015:4). Gus Dur tertarik dengan citra sang ayah sebagaimana diceritakan Suwarno dan Munawir Sadzali. Gus Dur pun mengaitkan dengan pilihan kebijakan Wahid Hasyim yang menerima usulan agar sisiwi diterima di Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHAN).

Gus Dur juga mengelaborasi keputusan Muktamar NU Banjarmasin 1935 tentang kewajiban mempertahankan Negara, dengan resolusi jihad 1945 yang berisi seruan mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia. Sehingga, bagi Gus Dur, yang penting harus dijaga adalah kedaulatan Negara.

Tidak penting siapa pemerintahannnya. Muslim atau tidak pemerintahannya juga bukan jadi patokan. Mengakhiri tulisan Gus Dur menggarisbawahi jika KH. Wahid Hasyim merupakan tokoh NU yang dinamis, liberal sekaligus punya dampak tersendiri pada jalannya perjuangan NU.

Tulisan Gus Dur ini mendapat tanggapan dari adiknya sendiri, Gus Sholah yang menulis KH. A. Wahid Hasyim, Pancasila, dan Islam, pada 17 Oktober 1998. Tulisan Gus Sholah meragukan cerita Gus Dur mengenai pendapat Suwarno terhadap sang ayah. Gus Sholah juga mengenal Suwarno dan seringkali bercakap. Namun, menurut Gus Sholah belum pernah Suwarno melontarkan cerita sebagaimana ditulis Gus Dur. Bisa jadi, Suwarno belum dapat menangkap dan memahami sikap KH. Wahid Hasyim.

Berbeda dengan Gus Dur, Gus Sholah justru menilai bahwa kekentalan keislaman sang ayah tidak dapat diragukan. Memang KH. Wahid Hasyim dan beberapa pemimpin Islam lainnya bersedia menghilangkan tujuh kata piagam Jakarta. Namun, itu karena sikap yang tidak main mutlak-mutlakan dari seorang KH. Wahid Hasyim. Bagi Gus Sholah, sang ayah bukan sosok liberal atau pun sekuler seperti yang  digambarkan Gus Dur.

Gus Sholah menyodorkan fakta sejarah Rapat Panitia Perancang Undang-undang Dasar tanggal 13 Agustus 1945 dan perubahan susunan serta redaksional Pancasila. Ditemukan bahwa  kekentalan rasa keislaman bukanlah aib. Bukanlah noda politik, begitu menurut Gus Sholah.

Selain itu, Gus Sholah juga merujuk kepada pendapat Rais Aam PBNU, KH. Achmad Shiddiq. Ia berperan merumuskan hubungan NU dan Pancasila. Negara Indonesia memang bukan negara teokrasi yang berdasarkan satu agama tertentu. Namun, dasar Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa Indonesia juga bukanlah negara sekuler.

Sehingga, bagi Gus Sholah Pancasila dan Islam tidak harus dipertentangkan dan saling mengalahkan. Keduanya dapat berjalan saling menguatkan, menunjang, dan melengkapi mengiringi kehidupan berbangsa dan bernegara. Membohongi atau tidak terhadap Pancasila, seperti yang dituduhkan oleh Gus Dur, adalah tergantung penafsiran terhadap Pancasila. Bersifat sekuler atau religius.

Perbedaan Pandangan Politik

Perdebatan tidak berhenti di sini. Gus Dur menanggapi tulisan adiknya dengan tulisan berjudul Terserah Suara Rakyat di Media Indonesia, 23 Oktober 1998. Gus Dur menyayangkan koreksi sikap politik yang dilakukan Gus Sholah tanpa menghubunginya. Terkait pendirian Partai Kebangkitan Umat (PKU), Gus Sholah merupakan salah satu pendirinya.

Sementara itu Gus Dur merupakan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).  Menarik bukan? Dua orang saudara kandung, memiliki pandangan yang diametral sekaligus mempunyai lengan politik yang berbeda. Satu PKU dan satunya lagi PKB. Meski begitu, bagi Gus Dur masih banyak media lain di luar politik yang mampu mengekalkan persaudaraan mereka. Sikap keduanya, seakan sebuah contoh bagaimana perdebatan dan keragaman pandangan adalah rahmat.

Dalam tanggapannya ini, Gus Dur tetap kukuh bahwa sumber hukum negara Indonesia adalah pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Perundang-undangannya berdasarkan keputusan DPR RI. Sehingga, sumber hukum negara Indonesia tidak harus bergantung terhadap syari’ah Islamiyah.  Jika hanya bersandar pada syari’ah Islam saja, menurut Gus Dur, tidak akan diperoleh hukum kenegaraan yang lengkap bagi Indonesia. Sebaliknya, menurut Gus Dur, keabsahan hukum bagi Gus Sholah adalah ketika didukung oleh syari’ah Islamiyah.

Dalam tulisan ini Gus Dur juga menyayangkan sikap para pemimpin Islam yang mendua. Tidak mau memilih secara tegas antara mendasarkan hukum pada Islam atau Pancasila yang berarti hukum yang tidak berdasarkan atas syari’ah Islam. Padahal, bagi Gus Dur hukum nasional harus memilih. Tidak bisa dibiarkan menggantungkan masalah kepada keadaan, jalan tengah, atau menyerasikan keduanya.

Selang beberapa hari, Gus Sholah kembali menanggapi. Dia menulis Pancasila Jalan Tengah Kita. Gus Sholah kembali menandaskan Indonesia bukan negara Agama yang mengambil ajaran satu agama sebagai satu-satunya sumber hukum nasional yang mengikat. Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan secara tajam dan secara total kehidupan agama dan Negara.

Gus Sholah mengetengahkan gerak sejarah yang merekam perdebatan mengenail hal ini. Mulai dari perdebatan Sukarno yang mengusulkan negara sekuler dengan Natsir yang menginginkan negara Islam, sidang BPUPKI dan PPKI, lahirnya Piagam Jakarta sampai ia direvisi, dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Tegangan-tegangan sejarah itu telah memunculkan jalan tengah. Bukan negara sekuler dan bukan negara Islam. Jalan tengah itulah Pancasila yang religius. Dengannya, Indonesia telah membuktikan mampu berjalan sebagai sebuah bangsa dan negara. Penegasan Pancasila sebagai jalan tengah ini sekaligus menolak tuduhan Gus Dur.

Yakni, mereka yang tidak menghendaki negara sekuler dianggap menginginkan berdirinya negara Islam. Tuduhan itulah yang dikhawatirkan justru memunculkan ketakutan di kalangan non-Islam bahwa ada pihak yang ingin mendirikan negara Islam. Sehingga, perdebatan tentang negara sekuler versus negara Islam harus dihentikan.

Nyatanya, perdebatan tidak juga berhenti. Gus Dur menanggapi, menulis Menghindari Negara Berasumsi Agama sebagai jawaban atas tulisan Gus Sholah. Belum juga final. Karena tulisan Gus Dur ini juga menuai tanggapan dari Gus Sholah dalam sebuah tulisan berjudul  Biarkan Sejarah Menilai.

Perdebatan keduanya seolah tidak bisa ketemu. Masing-masing mempunyai argumentasi yang ditopang dengan pembacaan yang kuat. Baik atas teks maupun konteks politik dan sejarah. Meski begitu, keduanya punya kegelisahan yang sama tehadap masalah keberagamaan dan kebangsaan. Mulai soal korupsi, pelanggaran hukum, kemiskinan, demokratisasi, kekuasaan otoriter, dan sebagainya.

Selang beberapa tahun, yaitu tahun 2002, keduanya kembali bersilang pendapat di media massa. Tulisan Gus Sholah mengenai NU dan Gus Dur di harian Suara Pembaharuan pada 13 Februari 2002 ditanggapi oleh Gus Dur. Gus Dur menanggapinya dalam tulisan NU: Pergulatan Kultural Melawan Institusi. Kali ini perdebatan keduanya seputar NU. Khususnya berhubungan dengan budaya demokrasi, institusi dan sistem di tubuh NU, Muktamar Luar Biasa (MLB), dan relasi kultural di dalam NU.

Mencari Kebenaran Bukan Kemenangan

Sungguh perdebatan dua orang saudara yang ideologis sekaligus inspiratif. Sepintas, aroma konflik antara keduanya yang tertangkap oleh publik. Publik menganggap keduanya bermusuhan atau tidak akur. Padahal tidak sesederhana itu. Bahkan, Gus Dur dalam tulisannya mengaku sengaja mengirimkan artikel untuk menanggapi Gus Sholah. Kalaupun kemudian ada perdebatan hangat, tidak lain sebagai upaya pencarian kebenaran. Bukan kemenangan.

“Karena itulah penulis mengirimkan artikel ini, dan bukannya untuk berdebat dengan adik penulis sendiri. Sebab, hal itu dapat dilakukan kami berdua di mana saja, tetapi publik tidak akan mendapatkan manfaat dari perdebatan yang terjadi,” tulis Gus Dur dalam NU: Pergulatan Kultural Melawan Institusi.

Perdebatan keduanya bukan sesuatu yang mengherankan. Tradisi berdialektika telah ditanamkan lama di dalam keluarga KH.Wahid Hasyim. Menurut Gus Sholah, perbedaan pandangan dengan Gus Dur tidak menyebabkan renggangnya persaudaraan.  Sejak kecil keduanya terlatih untuk tidak malas berpikir.

Keduanya juga terbiasa berani bersikap, berbeda dan mengemukakan pendapat. Karena itulah, meski berbeda pandangan, Gus Sholah tetap mencintai, menghormati, dan mengagumi Gus Dur sebagai seorang kakak sekaligus tokoh.

“Tetapi kalau penulis mempunyai perbedaan pendapat dengan Gus Dur dalam masyalah kemasyarakatan yang penting, adalah sesuatu yang wajar kalau pendapat itu disosialisasikan,” tulis Gus Sholah dalam Pancasila Jalan Tengah Kita.

Keduanya patut menjadi rujukan bahwa perbedaan pandangan tidak harus disikapi dengan kemarahan apalagi kebencian. Perbedaan pandangan adalah anugerah jika mampu disikapi dengan bijak.  Sehingga, perbedaan yang melahirkan perdebatan yang sehat adalah rahmat bagi publik. Begitulah sebagian pesan yang dapat kita petik dari perdebatan kedua saudara kandung, kakak-beradik, Gus Dur dan Gus Sholah.

www.terakota.id