Pada 31 Januari 2018, Nahdlatul Ulama (NU) memperingati hari lahir ke-92. Jalan perjuangan NU selalu berdiri untuk membela kemanusiaan dan keindonesiaan. Semangat perjuangan NU digelorakan para pendiri seperti KH M Hasyim Asy’ari yang tak pernah surut menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berdiri pada 31 Januari 1926, NU sebenarnya wadah pengembangan perjuangan para kiai pesantren yang menentang kolonialisme dan penjajahan. Gerak perjuangan NU sangat dibutuhkan bangsa yang berjalan berliku, seiring dengan banyaknya tantangan. Reformasi 1998 belum mampu mendorong perbaikan, tapi justru seringkali dijadikan jalan politik kepentingan sesaat.
Semangat Indonesia 1945 tidak banyak disuarakan, malah sering dinafikan. Gerak perjuangan Indonesia 1945 lebih banyak menjadi slogan, miskin aksi, dan aktualisasi untuk menjawab tantangan Indonesia masa depan. NU dalam kesejarahannya menorehkan banyak catatan, terlebih terkait berdirinya NKRI.
Bukan saja terlibat secara kultural, NU sangat intensif dalam merumuskan arah dan gerak negara. Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim, dan Abdurrahman Wahid mungkin menjadi trisula NU baik secara geneologis maupun ideologis. Mereka mencatatkan gerak perjuangan NU untuk NKRI. Trisula NU tersebut tentu saja tidak sendirian.
Mereka dilingkungi ribuan kiai, pesantren, santri dan jamaah seluruh Indonesia. Tentu saja, jejak kesejarahan NU mempunyai makna sangat krusial dalam menjaga NKRI. Tak salah kemudian pada 2012 NU menggelorakan semangat kembali kepada Khittah Indonesia 1945. Ini berangkat dari pengalaman NU ketika krisis dan kemerosotan pada dasawaersa 1970.
Maka pada awal 1984 NU menemukan solusi kembali ke spirit 1926. Ini kemudian dicanangkan agenda Kembali ke Khittah 1926. Walaupun saat itu banyak yang menentang karena dianggap langkah mundur, kemudian terbukti menginspirasi bagi kebangkitan kembali NU. Bahkan kemudian NU bisa diakui secara internasional.
Dari sini, NU mendesak bangsa agar kembali ke Khitah Indonesia 1945 yang berarti kembali ke jati diri bangsa yang diwarnai semangat kemerdekaan, menciptakan keadilan, kesejahteraan, serta membangun kedaulatan nasional. Kembali ke Khitah Indonesia 1945 berarti menyematkan lagi Proklamasi, nilai-nilai Pancasila, Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945, serta nilai luhur UUD 1945.
Semua inipada dasarknya bersandar pada nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kekeluargaan, permusyawaratan, serta perjuangan keadilan. Munas NU 2012 tegas sekali menguraikan, Kembali ke Khittah 1945 tidak berarti menolak segala bentuk perubahan UUD 1945. Demikian juga tidak menyakralkan hasil amendemen.
Sesuai dengan amanat Pasal 37 UUD itu perlu disempurnakan. Khitah Indonesai 1945 merupakan keseluruhan citacita bangsa yang berproses sejak zaman Kebangkitan Nasional. Ini kemudian dirumuskan menjadi dasar negara Pancasila yang dicetuskan melalui Proklamasi Kemerdekaan. Semua dirumuskan menjadi Pembukaan UUD serta dirinci ke dalam batang tubuh UUD 1945 secara tuntas dan menyeluruh.
Karena itu, dalam konteks kembali ke Khittah Indonesia 1945, NU berusaha menegaskan lagi Pancasila sebagai ideologi negara. Barang siapa mengganggu atau menentangnya harus segera dicegah. NU juga mendesak agar dalam UUD ada pasal yang menegaskan, Mukadimah UUD 1945 tidak boleh diubah atau diamendemen. Mukadimah menjadi pedoman berisi filososi serta arah perjuangan bangsa.
Masa Depan
“Nilai dasar demokrasi memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan saling menghormati perbedaan dan mampu bekerja sama sehingga menciptakan kesejahteraan bersama,” tegas KH Wahab Hasbullah, penggerak berdirinya NU. Kiai Wahab mengaktualisasikan gagasan dari gurunya, KH Hasyim Asy’ari, yang selalu menegaskan, agama harus menjadi inspirasi dan basis etik dalam membangun demokrasi.
Sinergi agama dan nasionalisme dalam membangun, bagi Kiai Hasyim, akan menjadikan Indonesia masa depan sebagai negara bermartabat. Ini harus menjadi tonggak utama NU dalam mengawal Khittah Indonesia 1945. NU harus berani mempertaruhkan diri demi NKRI. NU harus siap berada di barisan terdepan membela NKRI.
Kerja NU harus berorientasi menjaga dan menegakkan NKRI. Di sinilah, NU bagi Kiai Sahal Mahfudh, Rais Aam PBNU (1999-2014) telah menjalankan politik tingkat tinggi: politik kebangsaan, kerakyatan, dan etika. NU harus selalu berdiri di depan dalam menegakkan kemandirian bangsa.
Indonesia masa depan harus siap dengan etos mandiri. Negara bergerak di tengah gejolak masyarakat ekonomi global yang dimulai dari Masyarakat Ekonomi ASEAN. Warga NU siap dengan kemandirian agar masa depan Indonesia semakin gemilang. NU mengembangkan kader bangsa yang berkarakter.
Menyiapkan generasi bangsa yang berkarakter dan berintegritas menjadi tugas besar NU agar mampu merealisasikan agenda masa depan. Peran NU dalam lembaga pendidikan, keagamaan, dan kebangsaan mutlak harus segera diperkuat dari semua lini. Khususnya dimulai dari pelosok desa.
Semangat perjuangan inilah yang harus digelorakan NU, sehingga Khittah Indonesia 1945 bisa dijalankan dengan baik dan bermartabat. Selain itu, sekarang juga menjadi ajang pertaruhan NU. Apakah masih memancarkan etos perjuangan atau justru sibuk dalam politik kekuasaan? Dalam konteks ini, spirit Gus Dur bisa menjadi bahan refleksi.
Etos perjuangan kemanusiaan dalam Islam menjadi titik tolak diri Gus Dur. Mengapa? Menurut Syaiful Arif (2013) karena untuk melindungi hak asasi manusia dan mengembangkan struktur masyarakat yang adil. Bagi Gus Dur, kemanusiaan harus diwujudkan melalui upaya pemenuhan hak dasar manusia dalam rangka kehidupan sosial yang adil.
Dari sini, humanisme Gus Dur bukanlah liberal, melainkan komunitarian yang menempatkan pemenuhan kebutuhan individu guna membentuk kebaikan masyarakat. Individu bukanlah pusat realitas karena lahir, ada, dan ditemukan dalam konteks kemasyarakatan. Pmebangunan individu harus menjadi bagian dari nilai-nilai yang membatin dalam kultur.
NU harus berjuang mengatasi krisis kemanusiaan dengan melahirkan para pejuang kemanusiaan sejati sebagai wujud pengejawantahan nilainilai Islam. Inilah tantangan yang mesti dijawab generasi sekarang dan mendatang.
koran-jakarta.com | Muhammadun, Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta