, ,

Bolehkah Menjadikan Jeddah Sebagai Miqat?

Sepanjang 14 abad penetapan miqat makani nyaris tidak pernah menimbulkan polemik yang berarti. Sebab tempat-tempat itu tidak pernah berubah atau bergeser dari posisinya. Para jamaah haji dari berbagai penjuru dunia pasti akan melewati tempat-tempat yang telah disebutkan Rasulullah SAW itu. Kalau pun ada perubahan, hanya perubahan nama tempat saja, tetapi tempat miqat itu tetap pada posisinya sejak zaman nabi.

Bolehkah Menjadikan Jeddah Sebagai Miqat?
Sepanjang 14 abad penetapan miqat makani nyaris tidak pernah menimbulkan polemik yang berarti. Sebab tempat-tempat itu tidak pernah berubah atau bergeser dari posisinya. Para jamaah haji dari berbagai penjuru dunia pasti akan melewati tempat-tempat yang telah disebutkan Rasulullah SAW itu. Kalau pun ada perubahan, hanya perubahan nama tempat saja, tetapi tempat miqat itu tetap pada posisinya sejak zaman nabi.

Tetapi ketika manusia sudah menemukan pesawat terbang, dan para jemaah haji mulai menumpang ’besi terbang’ ini, mulai muncul sedikit masalah. Sebab pesawat-pesawat terbang ini terbang di atas langit, sementara tidak ada satu pun dalil dari Rasulullah SAW yang menjelaskan miqat makani buat jamaah yang datang lewat ’langit’.

Misalnya, bila suatu ketika ada orang bisa tinggal di bulan, tentunya datang ke bumi tidak melewati miqat-miqat yang telah ditetapkan, karena mereka muncul dari atas langit. Lantas dimanakah miqat makani buat jamaah haji yang muncul dari atas langit?

Dan pesawat terbang pada ketinggian di atas 27.000 kaki dari permukaan laut, nyaris tidak melewati batas-batas miqat itu. Maka dalam hal ini setidaknya ada dua pendapat yang berkembang :


1. Pendapat Pertama : Ikut Miqat di Darat

Para ulama kontemporer berpendapat bahwa miqat makani buat para jamaah yang menumpang pesawat itu adalah garis-garis 'imajiner' yang menghubungkan titik-titik yang ada pada masing-masing miqat.

Dan sangat mudah untuk menemukan garis imajiner itu dengan pesawat modern, karena pasti dilengkapi dengan alat semacam Global Positioning System (GPS) dan sejenisnya. Biasanya GPS yang tersedia di kursi masing-masing penumpang pada pesawat tertentu.

GPS akan memberitahukan dengan pasti posisi pesawat terhadap titik-titik koordinat tertentu di muka bumi, bahkan juga bisa memastikan kecepatan pesawat, ketinggian (altitude), perkiraan waktu yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan dan sebagainya.

Maka mudah saja bagi jamaah haji yang ingin memulai berihram, karena kapten akan memberitahukan bahwa dalam hitungan beberapa menit lagi pesawat akan berada di atas posisi titik miqat. Bahkan para penumpang bisa melihat sendiri posisi pesawat yang mereka tumpangi di layar LCD di kursi masing-masing.

Dan tanpa harus mendarat di titik-titik yang telah disebutkan oleh Rasulullah SAW itu, para jemaah mulai berganti pakaian ihram, berniat dan melantunkan talbiyah, dari ketinggian sekian ribu kaki di atas permukaan laut.

Bahwa miqat makani buat mereka yang naik pesawat terbang harus mengikuti miqat yang ada di darat, sehingga mulai berihram harus dilakukan di atas pesawat, adalah pendapat beberapa ulama, di antaranya :


a. Majelis Bahtsul Masail Nadhatul Ulama

Majelis Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama (NU), lembaga yang banyak mengurusi fatwa kontemporer di kalangan nahdhiyyin ini, dalam salah satu keputusannya menegaskan bahwa Bandara Jeddah tidak memenuhi ketentuan sebagai miqat makani buat jamaah haji Indonesia.

Majelis ini tegas menyebutkan bahwa jamaah haji Indonesia harus melakukan niat tawaf pada waktu pesawat terbang memasuki daerah Qarnul-Manazil. Berikut ini petikannya:

Soal:
Orang Indonesia yang melaksanakan ibadah haji melalui Jeddah yang akan langsung menuju Makkah, apabila mereka memulai ihramnya dari Jeddah, apakah terkena wajib membayar dam bagi mereka?

Jawab:
Mengingatkan bahwa lapangan terbang Jeddah di mana jamaah haji Indonesia mendarat, ternyata tidak memenuhi ketentuan sebagai miqat, maka apabila para jamaah haji Indonesia (yang berangkat pada hari terakhir) akan langsung menuju Makkah, hendaknya mereka melakukan niat pada waktu pesawat terbang memasuki daerah Qarnul-Manazil atau daerah Yalamlam atau miqat-miqat yang lain (yaitu setelah mereka menerima penjelasan dari petugas pesawat udara yang bersangkutan).

Untuk memudahkan pelaksanaannya, dianjurkan agar para jamaah memakai pakaian ihramnya sejak dari lapangan terbang Indonesia tanpa niat terlebih dahulu.

Kemudian niat ihram baru dilakukan pada waktu pesawat terbang memasuki daerah Qarnul-manazil atau Yalamlam. Tetapi kalau para jamaah ingin sekaligus niat ihram di Indonesia, itupun diperbolehkan.


b. Fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz

Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa lalu, Syeikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang keabsahan Bandara King Abdul Aziz sebagai pengganti dari miqat dengan tegas menolak dan mengatakan tidak sah apabila jamaah haji mulai berihram dari Bandara itu. Berikut kutipan fatwa beliau :

Hal yang mewajibkan kami menjelaskan masalah ini adalah adanya buku kecil yang datang dari sebagian rekan pada akhir-akhir ini yang berjudul 'Adillatul Itsbat anna Jaddah Miqat', yaitu Dalil-dalil yang membuktikan Jeddah adalah Miqat.

Di dalam buku kecil ini penulisnya berupaya mengadakan miqat tambahan di luar miqat-miqat yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Dia beranggapan bahwa Jeddah itu adalah miqat bagi orang-orang yang datang dengan pesawat udara di bandara atau datang ke Jeddah lewat laut atau lewat darat.

Maka menurut penulis buku ini, mereka boleh menunda ihramnya sampai tiba di Jeddah, kemudian berihram dari sana. Karena, menurut anggapan dia, Jeddah itu sejajar dengan dua miqat, yaitu Sa'diyah dan Juhfah.

Ini adalah kesalahan besar yang dapat diketahui oleh setiap orang yang mempunyai pengetahuan tentang realita sebenarnya. Sebab, Jeddah itu berada di dalam wilayah miqat, dan orang yang datang ke Jeddah pasti telah melalui salah satu miqat yang telah ditetapkan oleh Muhammad SAW atau berada dalam posisi sejajar dengannya baik di darat, laut maupun di udara. Maka tidak boleh melewati miqat itu tanpa ihram jika berniat menunaikan ibadah haji atau ibadah umrah.

Di bagian akhir dari fatwa itu, beliau memberi kesimpulan :

Sesungguhnya fatwa khusus yang dikeluarkan tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqat bagi para penumpang pesawat udara dan kapal laut adalah fatwa batil (tidak benar) karena tidak bersumber dari nash al-Qur`an ataupun hadits Rasulullah SAW ataupun ijma' para ulama salaf, dan tidak pernah dikatakan oleh seorang ulama kaum muslimin yang dapat dijadikan sandaran.


c. Fatwa Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia

Penulis kutipkan bagian terpenting dari Fatwa Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia :

Tidak syak bahwa Jeddah tidak termasuk miqat. Siapa yang mengakhirkan ihramnya sampai ke Jeddah, maka dia telah melewati miqat menurut syar'i.

Karena itu dia terkena dam, yaitu satu kambing atau sepersepuluh unta atau sepersepuluh sapi yang disembelih di tanah haram dan dibagikan kepada orang miskin tanah haram.


d. Fatwa Majma' Fiqih Al-Islami

Selain Lajnah Daimah, juga ada fatwa dari Majma' Fiqih Al-Islami yang kami kutipkan bagian terpentingnya saja :

Jika hal ini diketahui, maka bagi orang-orang yang haji dan umrah lewat jalan udara dan laut serta yang lainnya tidak boleh mengakhirkan ihram sampai mereka tiba di Jeddah.

Sebab Jeddah tidak termasuk miqat yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula orang-orang yang tidak membawa pakaian ihram, maka mereka juga tidak boleh mengakhirkan ihram sampai ke Jeddah.


2. Pendapat Kedua : Dimana Pesawat Mendarat

Sementara di sisi lain, memang tidak sedikit kalangan ulama yang menjadikan Bandara King Abdul Aziz di Jeddah sebagai tempat miqat.

Mereka berpendapat bahwa orang yang datang lewat ’langit’ tidak mulai berihram di atas miqat-miqat tadi, tetapi mulai mengambil miqat dari tempat dimana pesawat itu menyentuh daratan, yang dalam hal ini adalah Bandara King Abdul Aziz yang terletak di kota Jeddah.

Bandara Jeddah saat ini boleh dibilang satu-satunya bandara untuk jamaah haji, kecuali pesawat-pesawat milik maskapai Saudi Arabia yang bisa langsung mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz di kota Madinah.

Yang jadi masalah adalah karena posisi Bandara King Abdul Aziz ini sudah berada di sebelah Barat tanah haram. Sedangkan jamaah haji Indonesia, tentunya tidak datang dari arah Barat melainkan dari Timur atau  Tenggara. Jadi kalau mendarat di Jeddah, sudah pasti akan melewati garis miqat.

Dan seharusnya cara ini terlarang, karena setiap orang yang melewati garis miqat wajib berihram, kalau tujuannya semata-mata menuju ke Ka’bah untuk haji atau ihram.

Di zaman dulu ketika kita masih menggunakan kapal laut, jamaah haji Indonesia bisa dengan mudah berihram dari miqat yang ditentukan. Namun agak lain ceritanya bila berihram di atas pesawat terbang.

Sebab yang namanya berihram itu adalah membuka pakaian biasa berganti dengan dua lembar handuk sebagai pakaian resmi berihram. Memang akan sedikit merepotkan, bila dilakukan di dalam pesawat terbang.

Yang jadi masalah, bukan pilot tidak tahu tempat batas miqat, tetapi bagaimana memastikan bahwa sekian ratus penumpang di dalam pesawat yang sedang terbang tinggi di langit, bisa berganti pakaian bersama pada satu titik tertentu.

Sementara untuk berpakaian ihram sejak dari Indonesia, sebenarnya bisa saja dilakukan, namun jaraknya masih terlalu jauh. Kalau kita tarik garis lurus Jakarta Makkah di peta google earth, sekitar 9.000-an km jaraknya. Perjalanan ditempuh sekitar 8 sampai 10 jam penerbangan non-stop.
 

a. Kementerian Agama RI

Departemen Agama Republik Indonesia yang kini berubah nama menjadi Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai biro perjalanan haji terbesar di dunia, nampaknya lebih cenderung berpendapat bahwa Jeddah bisa menjadi alternatif miqat makani.

Hal itu bisa dibuktikan dengan seragamnya semua petunjuk yang diarahkan berupaya mencari pendapat-pendapat yang membolehkan jamaah haji bermiqat dari bandara Jeddah.

Pendapat pihak Kementerian Agama RI ini untuk menjadikan Bandara King Abdul Aziz sebagai tempat miqat berpegang pada beberapa pendapat berikut ini :

1. Pendapat Ibnu Hajar pengarang Kitab Tuhfah memfatwakan bahwa jamaah haji yang datang dari arah Yaman boleh memulai ihram setelah tiba di Jeddah karena jarak Jeddah-Makkah sama dengan jarak Yalamlam-Makkah. An-Naswyili Mufti Makkah dan lain-lain sepakat dengan Ibnu Hajar ini.

2. Menurut mazhab Maliki dan Hanafi, jamaah haji yang melakukan dua miqat memenuhi ihramnya dari miqat kedua tanpa membayar dam.[1]

3. Menurut Ibnu Hazm, jamaah haji yang tidak melalui salah satu miqat boleh ihram dari mana dia suka, baik di darat maupun di laut.[2]


b. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Tercatat tiga kali Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang bolehnya berihram dari bandara Jeddah, yaitu tahun 1980, 1981 dan 2006. Berikut petikannya fatwa terakhirnya:

c. Pendapat Syeikh Mustafa Az-Zarqa’

Salah satu ulama besar dan berpengaruh yang juga berpendapat bahwa Bandara King Abdul Aziz di Jeddah boleh dijadikan tempat miqat makani adalah Syeikh Mustafa Az-Zarqa’.[3]

Dengan bahasa yang tegas beliau mengatakan bahwa orang yang datang dengan pesawat terbang tidak wajib melakukan ihram, kecuali setelah pesawat mendarat di daerah yang akan mereka tempuh dengan jalur darat.

Karena Bandara Internasional Jeddah terletak di dalam miqat makani maka dari situlah mereka harus memulai ihram karena mereka disamakan dengan penduduk Jeddah. Seandainya bandara itu nanti dipindah ke Makkah, maka tempat ihram mereka adalah dari Makkah sama dengan penduduk Makkah.

Begitu seterusnya sesuai dengan miqat-miqat makani yang sudah ditentukan lewat jalur darat pada masa Rasulullah. Menurutnya ketentuan miqat makani ihram yang sudah ada nashnya tidak berlaku bagi orang yang naik pesawat.

Beliau termasuk ulama modern yang agaknya menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa teks hadits mengenai miqat makani berlaku baik lewat darat, laut, maupun udara.

Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan semua ulama anggota RAA yang bersidang di Yordania tahun 1407 Hijriyah.