Fildzah, Mengapa Kau Memakai Hijab?

Ketika aku harus menemukan jawaban yang logis tentang agamaku sendiri. Filipina tempat yang pernah dikunjungi oleh Fildzah Amalia PH peserta Dream Girls 2015 asal Sidoarjo ini. Dia datang untuk melakukan persentasi tentang budaya Indonesia. Awalnya berjalan lancar, namun suasana berubah ketika salah seorang mengajukan pertanyaan tentang agama yang diikuti oleh Fildzah.

Fildzah, Mengapa Kau Memakai Hijab?
Ketika aku harus menemukan jawaban yang logis tentang agamaku sendiri.

Filipina tempat yang pernah dikunjungi oleh Fildzah Amalia PH peserta Dream Girls 2015 asal Sidoarjo ini. Dia datang untuk melakukan persentasi tentang budaya Indonesia. Awalnya berjalan lancar, namun suasana berubah ketika salah seorang mengajukan pertanyaan tentang agama yang diikuti oleh Fildzah. 



Ia pun terdiam karena pertanyaan itu membutuhkan jawaban yang logis dan masuk akal. Seperti apa pertanyaan dan jawabannya?

Banyak orang mengatakan bahwa travelling itu sama dengan perjalanan untuk mengenal diri kita yang sebenarnya. Pada saat membaca banyak tulisan seperti ini di umur 17 tahun dan belum pernah melakukannya sendiri, yang ada dalam pikiran adalah, “bagaimana bisa?” Kita berada pada zaman di mana setiap orang dapat mengekspos apa yang mereka lakukan di sosial media. Termasuk dalam hal ini adalah travelling.

Ada yang pergi naik gunung, ada yang ke hutan, berkemah, mencoba menyelam, bersepeda di pulau wisata, dan mencoba menelusuri sungai dengan perahu. “Bagaimana ceritanya kita bisa menemukan diri kita lewat acara-acara itu?” Tapi, setelah mencoba satu pengalamann travelling yang life-changing, caraku melihat sebuah perjalanan dan bagaimana memperlakukan diri sendiri jadi sangat berbeda.

Waktu itu pertengahan tahun 2013 dan sekitar satu bulan sebelum memasuki bulan puasa. Aku mencoba ikut kegiatan sukarela di Quezon City, Filipina, selama enam minggu. Kegiatannya sederhana sih, di sana aku diminta untuk mengerjakan projek sosial budaya dan harus mempresentasikan Indonesia ke anak-anak muda Filipina. Tujuannya adalah agar mereka punya kesadaran budaya yang lebih beragam, tidak hanya tentang negara mereka aja.

Di sana aku tidak sendirian, meskipun awalnya aku berangkat sendiri. Ada sekitar 15 orang di tim aku dan mereka berasal dari sepuluh negara yang berbeda. Disana, ada aku dan dua orang perempuan lain yang menjadi representative dari Indonesia.

Di awal, aku tidak menaruh banyak ekspektasi pada kegiatan ini karena, yah, namanya juga presentasi budaya. Semacam itulah, mau seperti apalagi sih? Filipina tidak jauh-jauh berbeda dengan Indonesia. Jadi, budaya dan orang-orangnya akan lumayan familiar. Kecuali dengan bahasa tagalog dan bahasa Inggrisnya, ya. Tapi, rupanya mungkin karena saat itu Ramadan dan berkah Ramadan memang selalu ada. Banyak hal terjadi untuk mencubit-cubit pipiku sebagai seorang muslimah.

Satu hal yang cukup sering terjadi adalah ketika teammate-ku dari Jerman banyak menanyakan mengenai hal-hal dalam Islam yang aku pikir sudah sangat tahu jawabannya. Temanku bernama Lisa ini, cukup penasaran dengan alasanku memakai jilbab, kenapa aku memakainya sementara temanku yang lain yang juga muslim tidak menggunakannya. Lalu, ia juga bertanya mengapa aku tidak boleh makan daging babi, padahal saat ini sudah banyak peternakan babi yang lebih bersih dan terawat.

Selain itu, kenapa aku tidak boleh masuk ke klub malam dan minum alkohol, sementara temanku dari Pakistan juga muslim tapi dia senang sekali diajak ke tempat seperti itu. Pada saat aku menjawab karena aku ingin mengikuti perintah agama yang ada dalam Al-Quran, ia kembali menodongkan pertanyaan lain. “Kenapa kamu perlu mengikuti apa yang tertulis dalam buku yang ditulis pada jaman-jaman terdahulu, sementara kamu hidup di jaman sekarang yang semuanya sudah berkembang?”, katanya.

Ketidakmampuanku untuk menjawab semua pertanyaannya dengan baik dan logis membuatku sedih. Bukan karena dia menanyakan hal yang salah, namun karena aku belum sepenuhnya memiliki jawaban itu. Bahkan, aku mempertanyakan kembali pengetahuan dan pemahamanku mengenai Islam.

Banyak hal yang coba ia pertanyakan dan perlu jawaban yang sangat logis. Di satu sisi, apa yang dilakukannya mungkin bertentangan dengan nilai-nilai kita yang seakan-akan meragukan agama dan kepercayaan orang lain. Tapi di sisi yang lain, apa yang ia lakukan adalah pertanyaan kritis yang memang sudah selayaknya diajukan oleh seorang manusia dengan akal yang memang dianugerahkan Allah untuk kita.

Manusia, jika ingin diklasifikasikan dalam kingdom di biologi memang termasuk dalam kelompok hewan atau animalia. Namun, bagaimanapun, kita diberikan akal yang membuat kita lebih sempurna dan terhormat dibandingkan mereka. Maka, memang bukanlah hal yang di luar kewajaran jika ia banyak menanyakan hal tersebut.

Malah, dengan kehadiran Lisa dan pertanyaan-pertanyaan kritisnya itu, membuatku merefleksi kembali seberapa jauh aku memahami agamaku ini sebagai sebuah kepercayaan dan jalan hidup yang aku ambil sampai mati. Bukan hanya sekedar turunan dari orangtua.

Kembali ke bagaimana akhirnya aku memahami travelling sebagai perjalanan untuk menemukan diri sendiri. Mungkin,travelling dalam hal ini bukan hanya sekedar di mana dan seberapa jauh kita pergi. Tapi, lebih kepada siapa yang kamu temui dan bagaimana kamu menjalani perjalananmu itu.

Semenjak pengalamanku dengan Lisa tadi, kini setiap melakukan perjalanan, aku lebih penasaran dan bersemangat untuk mengetahui apa yang akan aku temui disana. Selain itu, mungkin agak lebih sentimental adalah setiap hal yang aku jalani sekarang, aku selalu berusaha mengambil pelajaran di dalamnya. Sekecil dan sesedikit apapun.

dream.co.id