Seperti waktu yang terus berjalan, peradaban manusia di dunia pun terus berjalan mengalami perubahan. Waktu hanya berjalan linear seperti garis yang tidak pernah bengkok, berakhir terputus... Namun tidak demikian halnya dengan kehidupan manusia, yang begitu dinamis dan merdeka, bisa seperti garis lurus, bisa berliku-liku, bisa berputar. Manusia bisa memilih kemana jalan yang mau ditempuhnya.
Allah Ta'ala menciptakan manusia dengan dua jenis, laki-laki dan perempuan. Dan penciptaan keduanya adalah untuk hidup berpasangan dalam aturan yang ditetapkan Allah, yaitu pernikahan yang sah. Tujuan manusia untuk hidup berpasangan adalah untuk memperkuat keimanan dan mendapatkan ridho Allah Ta'ala.
Dalam kehidupan dunia hari ini maupun masa lampau, pernikahan menjadi isu yang tidak pernah surut. Berbagai masalah muncul dari masa ke masa, seolah manusia selalu mencari-cari kepuasannya diluar apa yang telah menjadi ketentuan Allah. Dalam ajaran Islam, sebuah pernikahan yang diluar ketentuan Allah, adalah batal dan tidak sah.
Dalam berbagai kasus pernikahan tidak sah, salah satunya adalah berbeda agama (muslim dengan non-muslim) Dalam ajaran Islam terdapat tiga kombinasi pernikahan beda agama, yakni; pertama pernikahan Pria muslim dengan Wanita Ahlil Kitab. Kedua pernikahan Pria muslim dengan Wanita nonmuslim, ketiga adalah pernikahan Wanita muslimah dengan Pria non-muslim.
Mereka yang dikatakan non-muslim adalah orang-orang musyrik, atheis, murtad dan wanita ahlul kitab. Lalu apa yang dimaksud dengan Ahlul Kitab?
Dalam Kitab Mu'jam Al Wasith (Sheikh Ibrahim Anis) dijelaskan bahwa term Ahlul Kitab tersebut ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, penganut agama yang memiliki kitab samawi (Taurat dan Injil) Hal ini pun disebutkan dalam Kitab Al Mugnie Li Ibnu Qudamah- Bab Nikah
Namun demikian para Imam Mazhab memiliki pendapat yang
berbeda: Mazhab Hanafi dan sebagian pengikut Hambali berpendapat bahwa siapa pun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang yang pernah diturunkan oleh Allah maka termasuk Ahlul Kitab. Mereka tidak hanya kaum Yahudi dan Nasrani saja.
Mazhab Syafi'i, yang dimaksudkan dengan Ahlul Kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani saja dari keturunan Israel (Nabi Yakub AS). Artinya Ahlul Kitab hanya terbatas pada satu bangsa saja yakni keturunan Israel. Sehinga bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani tidak termasuk Ahlul Kitab (termasuk orang Kristen di Indonesia, tidak termasuk Ahlul Kitab).
Sedangkan kaum Majusi itu berbeda dengan Ahlul Kitab, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Al Muwaththa yang ditulis oleh Imam Malik bin Anas, "Dari Abdurrahaman bin 'Auf, Rasulullah bersabda,"Perlakukanlah mereka sebagaimana Ahlul Kitab. (Yang dimaksud adalah orang-orang Majusi). Dan yang dimaksudkan dengan non muslim lainnya adalah Hindu, Buddha dan Konghutsu.
Mengenai hukum pernikahan pria muslim dangan wanita ahlul kitab, ada ulama yang mebolehkannya, berdasarkan firman Allah,
"(dan dihalalkan menikahi) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu." (QS AlMaidah (5): 5)
Wanita yang dimaksud adalah kitabiyyah yaitu wanita yang berpegang teguh pada Kitab Injil (asli), yang belum ada perubahan sedikit pun. Sayangnya, saat ini tidak ada kitab injil yang asli sebagaimana telah diturunkan kepada Nabi Isa AS. Isinya telah mengalami perombakan atau perubahan. (Al-Mahalli Juz III hal 251)
Namun demikian perlu ditegaskan bahwa masalah permikahan pria muslim dan wanita ahlul kitab hanya merupakan 'kebolehan' bukan anjuran, bukan pula perintah.
Pernikahan yang sesuai dengan ketentuan syari'at dan lebih aman untuk mewujudkan keluarga sakinah adalah pernikahan dengan sesama umat muslim. Pria atau wanita beragama kristen/katholik dapat digolongkan ke kelompok musyrik dan musrikah. Dan hukumnya haram untuk dinikahi.
Firman Allah SWT dalam surat Al Mumtahanah ayat 10, menyatakan bahwa Allah Ta'ala melarang pernikahan tersebut. Allah berfirman,"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu wanita-wanita yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang
kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS Al Mumththa 10) Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, "Ayat inilah yang mengharamkan (pernikahan) wanita muslimah dengan pria musyrik (non-muslim)."
Imam ss-Syaukani dalm Fath Al Qadir, menafsirkan ayat tersebut, "Dalam ayat ini, ada dalil atas ketidakhalalan mu'minah (wanita mukmin) bagi pria kafir"
Dalam hadis riwayat Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah bersabda," Kami (kaum muslim) menikahi ahli kitab, tetapi mereka (ahlul kitab) tidak boleh menikahi wanita Muslimah." Dengan demikian pendapat yang membolehkan pernikahan pria ahlul kitab dengan wanita muslim atas dasar persamaan hak dan kemajemukan, tidak bisa dibenarkan.
Di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sangat jelas disebutkan
Pada pasal 40: "Dilarang melangsungkan perkawainan antara seorang pria dan seorang wanita dalam keadaaan tertentu: "... seorang wanita tidak beragama Islam."(ayat c)
Pada pasal 44:
"Seorang wanita Islam dilarang melangungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam"
Di dalam Islam, sebuah pernikahan yang baik dan aman dari sisi akidah, pendidikan, dan tujuan disyariatkannya adalah pernikahan antara pria dan wanita yang sepadan (sekufu) terutama dalam agamanya, didasari cinta, ketulusan hati dan tanggung jawab serta berniat untuk mengikuti Sunnah Rasulullah.
Dengan mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan oleh Allah, Insya Allah esensi dari tujuan pernikahan yaitu untuk menuju keluarga sakinah (tentram), mawaddah (penuh cinta), rahmah (kasih sayang) dapat tercapai baik di alam dunia maupun alam akhirat.
Apa yang bisa diharapkan, dalam sebuah keluarga dimana ayah dan ibu berbeda agama? Tentulah akan lebih banyak timbul perbedan cara pandang, benturan psikologis di dalam keluarga dalam kegiatan ibadah, memberikan pendidikan kepada anak, pembinaan tradisi keagamaan, tata nilai/akhlak budi pekerti, muamallah antar kedua belah keluarga dan permasalah lainnya yang muncul dalam perjalanan pernikahan.
Dengan demikian, jika ada sepasang suami -istri non muslim, kemudian keduanya berpindah agama dan memeluk Islam, secara otomatis pernikahannya batal menurut hukum perkawainan Islam dan harus 'menikah lagi' dengan hukum perkawinan Islam. Menikah lagi atau pembaruan nikah, dalam bahasa Arab disebut 'Tajdiddun Nikah'.
(jumrahonline, erw)