Budaya masyarakat modern saat ini berkembang semakin kompleks. Perubahan terjadi di setiap sendi kehidupan kita, tidak terkecuali terjadinya pergeseran nilai termasuk pendangkalan makna dari pernikahan. Bahkan pernikahan yang harusnya suci, kini seolah lepas dari tujuan sejatinya.
Kita melihat fenomena diekspos oleh media kaca, betapa mudahnya seseorang melakukan pernikahan, semudah ia melakukan perceraian, bahkan tak jarang berganti-ganti pasangan dengan melakukan nikah mut’ah dan polygami (dengan mengabaikan aturan syara’).
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan bagian dari tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Dalam melaksanakan konsep kehidupan yang direncanakan dan ditentukan oleh Allah SWT itu, maka sebuah pernikahan diikat dalam suatu aqad (perjanjian) yang suci dan kuat, dengan aturan ketat. Dan mentaatinya, itu merupakan indikator ketaqwaan kepada Allah SWT.
Pernikahan di Masa Jahiliyah
Dari Urwah bin Zubair bahwa Aisyah isteri Rasul Allah SAW telah mengkabarkan kepadanya bahwa sesungguhnya pada masa Jahiliyah terdapat empat macam pernikahan.
Pertama, adalah pernikahan seperti yang dilakukan pada masa sekarang. Seorang laki-laki mendatangi wali wanita untuk melamar putrinya, kemudian memberinya mahar untuk menikahinya.
Kedua, pernikahan Istibdha, yaitu seorang suami berkata kepada isterinya pada saat suci dari haid (subur) "Temuilah si Fulan dan 'bergaullah' dengannya."
Sang suami menjauhinya sementara waktu (tidak menjimaknya) hingga benar-benar ia (isteri) positif hamil dari hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Ia melakukan hal itu, hanya untuk mendapatkan keturuan yang dianggap baik.
Ketiga, Nikahur-raht, sekelompok pria (kurang dari sepuluh) menggauli seorang wanita. Setelah wanita itu hamil dan melahirkan.
Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita itu pun memilih pria dari kelompok itu, dan tidak seorang pun yang boleh menolak.
Keempat, orang ramai berkumpul, lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang orang yang telah menggauli sang wanita. Para wanita itu adalah wanita pelacur.
Mereka meletakkan tanda pada pintu-pintu rumah mereka sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan bergaul dengan mereka.
Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu dipanggilkanlah orang yang ahli seluk-beluk nasab (Al Qafah), dan Al Qafah inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya sebagai bapanya, sehingga anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang itu tidak boleh mengelak.
Maka ketika Rasulullah SAW datang membawa kebenaran, dihapuslah segala bentuk pernikahan jahiliyah, kecuali pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang hari ini. (Fath al Bary 9/192)
Menikah sebagai Ibadah kepada Allah
Menurut Syaikh Ali As Shabuni dalam Kitab AzZawaaj al Islami al Mubakkir, pernikahan dalam pandangan Islam adalah suatu ibadah dan qurbah (pendekatan diri).
Dengan pernikahan, seorang muslim/muslimah akan memperoleh imbalan dan pahala dari Allah Ta'ala, apabila pernikahan itu didasari dengan niat yang ikhlas. Pernikahan tersebut ditujukan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan dalam Islam, bukan karena dorongan nafsu hewani.
Tetapi semata-mata untuk mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Dari Abi Said mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: "Seorang suami ketika memandang istrinya lalu istrinya memandang (ada syahwat atau tidak)maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan rahmat (kasih sayang) Nya.
Maka ketika suami memegang telapak tangan istrinya (sebagai upaya perangsangan saat berhubungan) maka dosa-dosa keduanya telah gugur melalui sela-sela jarijemari mereka berdua.(Faydh - al Qadir-hadist 1977-HR Maisarah, Rafi'i)
Dalam konteks penghambaan kepada Allah SWT, pernikahan juga berfungsi untuk menjaga masyarakat dari akhlak keji (zina, homoseksual,lesbian dsb) yang merusak nilai-nilai moral serta menjatuhkan martabat manusia.
Menikah merupakan jalan yang paling mulia dan paling afdhal dalam upaya menjaga kehormatan. Dengan menikah seseorang dapat menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya, sehingga tidak terjatuh dalam berbagai bentuk kemaksiatan dan perzinaan, dengan menikah seseorang dapat menjaga kehormatan dan akhlaknya, tidak mengikuti nafsu syahwatnya.
Maka Islam menghimbau kepada para pemuda untuk segera menikah, untuk menjaga mereka dari berbagai macam kerusakan moral. Dari Ibnu Mas'ud RA telah bersabda Rasulullah SAW : "Wahai para pemuda barang siapa diantara kalian yang sudah mampu maka segeralah menikah, karean hal ini dapat menundukan pandangan dan menjaga kemaluan, barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena hal ini dapat menjadi tameng baginya." (Muttafaqun 'alaihi)
Dengan pernikahan tersebut umat Muslim lebih termotivasi dan bersemangat dalam menegakkan rumah tangga yang Islami, ini menjadi salah satu tujuan pernikahan dalam Islam, yang semestinya setiap mu’min memperhatikannya. Maka Islam sedemikian rupa mengatur urusan pernikahan ini agar pasangan suami istri dapat bekerja sama dalam merealisasikan nilai-nilai Islam dalam rumah tangganya.
Pernikahan merupakan salah satu lahan yang subur bagi peribadahan dan amal sholeh disamping amal-amal ibadah yang lain, sampai seorang suami yang melampiaskan syahwatnya kepada istrinya disebut sebagai shadaqah.
Rasulullah SAW bersabda :
" …Seseorang diantara kalian yang bergaul dengan istrinya adalah sedekah!” Mendengar sabda Rasulullah SAW tersebut para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah seseorang dari kita yang melampiaskan syahwatnya terhadap istrinya akan mendapatkan pahala?” Rasulullah SAW menjawab : "Bagaimana menurut kalian jika seseorang bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah dia berdosa?, Begitu pula jika dia bersetubuh dengan istrinya maka dia akan mendapatkan pahala.” (HR. Bukhori Muslim dalam Kitab Shahih, dari Abu Dzar)
Melalui pernikahan dengan ijin Allah SWT seseorang akan mendapatkan keturunan yang shaleh sehingga menjadi asset yang sangat berharga, karena anak yang sholeh senantiasa akan mendo'kan kedua orang tuanya ketika masih hidup atau sudah meninggal dunia, hal ini menjadi amal jariyah bagi kedua orang tuanya.
Dengan banyak anak juga akan memperkuat barisan kaum muslimin. Ketika mereka dididik dengan nilai-nilai Islam yang benar dan jihad fii Sabilillah, maka akan tumbuh generasi yang komitmen dengan agamanya dan siap berkorban jiwa raga untuk tegaknya kalimat Allah ta'ala. Inilah antara lain hikmah
Rasulullah SAW menganjurkan umatnya agar menikahi wanita yang subur dan penyayang. "Nikahilah wanita yang subur dan penyayang! Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di hadapan para nabi pada hari kiamat.“(HR Ahmad dan Ibnu Hibban).