Kompleksitas Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia

Kompleksitas Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia
Berbincang tentang Ibadah Haji selalu menjadi hal yang menarik. Sebagai negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, negeri ini pun memiliki jamaah haji terbesar jumlahnya. Tahun ini saja kita menerbangkan sebanyak lebih dari 150.000 orang jamaah ke Tanah Suci.

Itu pun karena jumlah kuotanya sudah dikurangi (dibatasi), lantaran di Mekkah sedang dilakukan renovasi. Setidaknya Indonesia mendapatkan jumlah sebanyak 200.000 jamaah, sesuai yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi bahwa setiap negara mendapatkan sebanyak 0,01 persen dari jumlah penduduknya.

Lalu apa tantangan bagi Indonesia dalam pelaksanaan haji di negeri ini? Perbincangan redaksi Jumrah dengan KH. Ma′ruf Amin, selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia, memberi gambaran maslaah dan solusi tentang pelaksanan haji di Indonesia. Berikut petikannya;

Pak Kiai, melihat masalah Haji di Indonesia yang muncul dari tahun ke tahun, bagaimana Anda memandangnya?


Pasti setiap tahun kita akan mengalami kendala-kendala. Ya, karena dengan jumlah sebanyak itu, pelaksanaan haji tentu menjadi event yang tidak sederhana dan sangat kompleks. Menurut saya, menghantarkan jamaah haji dalam jumlah besar sekitar 160.000 orang dari tanah air menuju ke Mekkah. Kemudian melayani mereka ketika tinggal Tanah Suci dan beraktivitas di sana dalam waktu cukup lama. Dan membawanya pulang kembali ke tanah air dengan selamat. Tentu bukan pekerjaan yang mudah.

Kalau setiap tahunnya kita menemui masalah, saya pikir sesuatu yang masih bisa dimaklumi. Namun, hal yang tidak bisa dibiarkan terjadi adalah jika satu masalah, tidak terulang lagi pada tahun berikutnya. Itu artinya, kita tidak punya solusi. Jadi kalau ada masalah, solusinya harus segera ditemukan.

Kendala apa yang berpotensi terjadi pada pelaksanaan haji di tahun ini?


Begini, saya melihatnya dalam pelaksanaan ibadah haji itu ada dua hal utama yang menjadi perhatian kita. Pertama, Aspek Ibadahnya, ini yang harus terus diperbaiki. Karena, inilah yang menjadi tujuan utama kita berada di sana, yaitu beribadah. Jika ibadahnya tidak benar maka hajinya juga tidak mabrur.

Ambil contoh, soal ihram. Apa saja hal-hal yang dilarang dan diperbolehkan. Apa saja hal-hal yang harus didahulukan. dan mana yang bisa dilakukan nanti. Dan yang perlu kita sadari, dalam pelaksanaan ibadah ini, tidak sedikit jamaah yang ternyata tidak terbina dengan baik, dengan berbagai alasan.

Tidak sedikit yang berangkat haji secara dadakan, yang tidak mengikuti manasik ada. Ada pula yang mengikuti manasik, tetapi pada saat pelaksanaannya di Tanah Suci berjalan kurang baik. Jadi, keduanya berisiko, untuk itulah jamaah harus dibimbing terus dalam beribadah haji disana, tawaf, sa′i, wuquf-nya hingga selesai.

Yang kedua adalah Aspek Layanan kepada para jamaah. Di sini banyak tahapan yang harus dilaksanakan secara benar dan cermat. Jika salah satu saja tidak terlaksana, misalnya menyangkut paspor dan visanya, penerbangannya, asramanya, transportasinya disana, juga masalah keterlambatan atau bahkan batal berangkat.

Jadi kita memaklumi akan ada kendala di setiap tahunnya, karena aspek pelayanan Jamaah dengan kapasitas yang sangat besar, sehingga begitu banyak mata rantai kesulitan di dalamnya. Belum lagi masalah perbedaan cuaca, dan masalah- masalah teknis lainnya mungkin saja menjadi kendala di sana.

Tahun ini salah satu masalah yang dialami jamaah saat di dalam negeri adalah visa, walau pun akhirnya mungkin bisa terselesaikan, tetapi sempat membuat para jamaah khawatir batal berangkat. Tetapi syukur alhamdulillah, mereka semua bisa berangkat.

Untuk solusi masalah visa ini, kuncinya bagaimana?

Ya, masalah visa tahun depan jangan sampai terjadi lagi. Tentu ini tak lepas dari komunikasi para petugasnya. Misalnya dokumennya harus dipersiapkan lebih awal. Dalam masalah ini, tergantung bagaimana petugasnya, dalam menyusun dokumen para calon jamaah, petugas harusnya proaktif ″menjemput bola″. Petugas jangan hanya diam ditempat, jika mereka melihat terdapat kekurangan dokumen. Mereka harus mengejarnya sampai ke rumah calon jamaah tersebut. Untuk mengantisipasi terjadinya keterlambatan.

Mudah-mudahan masalah lain tidak ada, tetapi kita belum tahu disana nanti ada apa. Untuk para Jamaah di Tanah Suci, masalah apa saja yang seringkali terjadi dan perlu kita perbaiki?

Ya banyak, masalah-masalah yang disebabkan oleh kendala bahasa yang mengakibatkan terjadi adalah orang kesasar, hilang. Terutama mereka yang tidak biasa pergi jauh. Jadi soal bahasa juga sistem penanganan orang hilang itu menjadi hal yang penting disana.

Soal penginapan, adalah salah satu yang perlu diperhatikan juga adalah tempat menginap para jamaah. Di Mekkah misalnya, jarak penginapan (hotel) menuju tempat Masdil Haram, menjadi pertimbangan yang penting. Makin jauh jaraknya, makin bayak potensi masalah. Demikian juga ketika berada di Madinah.

Yang tidak bisa diabaikan adalah penanganan orang sakit. Ini juga harus terus dilakukan perbaikan-perbaikan. Jangan sampai ketersediaan obat disana tidak lengkap, tidak cukup. Termasuk tenaga kesehatannya jangan hanya dokter umum saja, tetapi juga tersedia dokter spesialis. Peralatan kesehatan untuk membantu dokter juga harus tersedia. Karena masalah kesehatan jamaah di sana harus benar-benar di jaga.

Jika ada yang sakit dan kemudian meninggal disana, itu merupakan kegagalan tim kesehatan disana.

Harus dilakukan tindakan antisipatif, fisiknya harus dibangun jauh-jauh hari sebelum mereka berangkat. Karena disana harus jamaah mengerahkan seluruh tenaganya dalam menjalankan semua kegiatan ibadah itu. Mereka mengalami tekanan udara yang panas, yang melelahkan. Kalau daya tahannya tubuh tidak baik. Tentu akan berisiko terhadap kesehatn mereka.

Jadi penangannya kesehatan sebelum berangkat sudah dipantau dulu, apa pun kekurangannya harus dapat diketahui sejak awal mereka di dalam negeri, dan dilakukan penanganannya. Jemaaah harus disehatkan terlebih dahulu, dan sampai disana harus kesehatan itu harus di jaga agar tidak sampai jatuh sakit.

Yang jadi masalahnya itu jika tempat penginapannya jauh dari pusat kegiatan ibadah haji. Dan yang pasti, pada musim haji transportasi umum disana tidak berjalan. Jadi ketika seorang jemaaah kondisi kesehatannya tidak fit, tentu ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Bagaimana pandangan Kiai, mengenai pelaksanaan berhaji tidak boleh lebih dari pada satu kali? Apakah ini tidak mengurangi hak umat muslim untuk berhaji?

Melihat jumlah peminat haji di Indonesia jumlahnya jutaan orang, tentunya antrian menjadi panjang sekali. Karena memang kuota yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi jumahnya terbatas. Mereka yang mendaftarkan diri tahun ini, rata-rata harus menunggu keberangkatannya selama sepuluh samapai lima belas tahun lagi. Jadi salah satu solusinya adalah orang yang sudah berhaji, sebaiknya tidak melakukannya dua kali atau lebih. Karena, dia akan menghalangi calon jamaah yang belum berhaji.

Sedangkan, haji yang kedua dan seterusnya itu hukumnya tidak wajib tetapi sunnah. Seharusnya kita mengutamakan yang wajib itu. Kecuali orang (calon jamaah) memiliki kepentingan, seperti menghantarkan orang tuanya yang artinya orang tuanya tidak bisa melakukannya tanpa diantar keluarganya.

Dan MUI sudah menfatwakan itu. Melarang berhaji dua kali. Karena menghalangi orang yang hajinya wajib, padahal haji oramg tersebut sunnah. Karena itu mereka disarankan untuk Umrah saja.

Bagaimana melihat peran para pembimbing jamaah haji saat ini, apakah profesi ini sudah menjalankan tugas-tugas mereka dengan baik?

Sebenarnya pemerintah menyediakan pembimbing haji dalam jumlah tertentu. Sebaiknya mereka adalah orang yang sudah paham dan tahu persis. Yang kedua memang sebaiknya pembimbing haji itu diambil dari Kelompok Bimbingan Haji Indonesia (KBHI), dan sebaiknya tersertifikasi bukan karena jatah yang bergilir. Karena jika yang mendapat giliran untuk membimbing disana belum paham soal haji dan kondisi-kondisi yang ada disana, itu akan menjadi masalah bagi para jamaah yang dibimbingnya.

Apakah sebenarnya profesi pembimbing ibadah haji ini belum ada standarnya, dan tidak memiliki sertifikasi profesi?

Usulan-usulan itu sudah ada, dan dalam undang-undang memang harus ada pembimbing ibadah haji. Dan memang harusnya diperkuat kualitasnya dan diperbanyak jumlahnya, karena berkaitan dengan sah atau tidaknya ibadah yang dilakukan oleh para jamaah. Jika banyak kelalaian yang terjadi terutama disebabkan oleh pembimbing ini, akibatnya sudah tidak ada gunanya lagi ibadah yang dilakukan oleh Jamaah disana, sia-sia.

Jadi menurut MUI, sebagai sebuah profesi, apakah Pembimbing ibadah Haji ini harus tersertifikasi?

Harus ada, keberadaan profesi ini harus membuat jamaah dan calon jamaah mudah untuk berkonsultasi untuk mendapatkan jawaban yang jelas terkait madalah-masalah teknis, terutama masalah ibadah haji itu sendiri.

Selama ini kita, terbantu dengan keberadaan KBHI, mereka biasanya melakukan bimbingan-bimbingan haji baik ketika masih di tanah air maupan ketika sampai di Tanah Suci. Dan itu sangat meringankan beban pemerintah dalam hal bimbingan ibadah para jamaah haji. Mereka dibayar secara sukarela.

Belakangan ini marak travel menawarkan umrah murah, arisan umrah, umrah multi level marketing (mlm), travel umrah ″bodong″, yang disinyalir menimbulkan masalah bagi jamaah di Tanah Suci. Bagaimana Kiai melihatnya?

Mengenai multi level marketing itu, tidak ada yang mendapatkan sertifikat dari lembaga sertifikasi, dulu pernah ada dua yang diberi sertifikat. Tetapi dicabut kembali karena tidak memenuhi syarat. Karena setelah ditelusuri, yang seperti itu berpotensi menimbulkan korban, penipuan terhadap calon jamaah haji.

Pemerintah juga harus mengawasi secara ketat, agar tidak terjadi lagi model yang seperti itu.

Mengenai biro-biro travel Umrah yang juga harus dilakukan verifikasi dengan memberlakukan persyaratan yang ketat, jangan sampai dia hanya mencari keuntungan saja, tetapi tidak memberikan pelayanan yang semestinya. Sehingga meminimalisir timbulnya masalah-masalah seperti penipuan, penerlantaran jamaah dan sebagainya.

Disamping itu jamaah itu harus diberikan pemahaman yang jelas. Pemerintah harus rajin memberikan info travel-travel yang bisa dipercaya, diberi ijin. Dan menuntun masyarakat agar tidak mudah menjadi tertipu dengan oleh tawaran-tawaran yang tidak lazim, yang dilakukan oleh travel-travel ′liar′. Harus ada cara, seperti misalnya di Kantor Urusan Agama (KUA) tingkat kota dan kabupaten, atau pun KUA di tingkat kecamatan perlu dilakukan sosialisasi, penyebaran poster daftar travel-travel memenuhi syarat untuk digunakan oleh masyarakat.

Menurut syariat Islam bagaimana jika sistem pembiayaan haji/umrah yang sifatnya menggunakan down payment (uang muka)?

Kalau down payment itu sebenarnya tak ada masalah, kalau tidak terjadi penipuan. Tetapi jika itu berisiko merugikan masyarakat, pemerintah justru harus melarangnya. Itulah sebabnya tadi, harus dilakukan sosialisasi secara lebih intensif lagi. Dan setiap tahun harus diperbarui, karena bisa jadi satu biro travel tahun ini misalnya bisa direkomendasikan, tetapi tahun depan biro tersebut belum tentu dia memenuhi syarat. Karena setiap saat kondisinya bisa berubah. Masyarakat harus benar- benar memahami itu, sehingga tidak terkelabuhi.

Kalau mau bicara yang ideal adalah ikuti saja sesuai dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah. Artinya, yang ideal itu adalah ketika memang yang sudah terjadwalkan berangkat disitu baru muncul pembayaran, itu untuk menghindarkan masyarakat dari risiko penipuan.

Tetapi dengan sebanyak 600-an biro travel yang berijin ini apakah bisa mengcover seluruh jamaah yang jumlahnya mencapai 200-an juta di seluruh Indonesia?

Saya kira jumlah itu cukup banyak, apa lagi mereka bisa membuat di cabang dimana-mana. asalkan mereka bisa bekerja efisien. Justru saya kira, jumlah 600 itu malah terlalu banyak.

Jadi yang penting dalam hal ini adalah sistem pengawasannya. Saya kira harus diperketat, dan semuanya harus sudah jelas. sehingga tak ada ruang bagi mereka yang mau melakukan penipuan.

Kira-kira rekomendasi apa yang bisa disampaikan kepada pemerintah untuk pengawasan dalam pelaksanaan ibadah Haji/Umrah ini?

Sebenarnya monitirong yang dilakukan oleh pemerintah sudah cukup baik, karena kita punya pengalaman selama berpuluh-puluh tahun. Artinya dari tahun ke tahun kita temukan masalah yang harus diperbaiki.

Setiap tahun selalu ada rekomendasi dari Tim Amirul Hajj yang melakukan pemantauan haji. Mereka memberikan rekomendasi, setiap selepas pelaksanaan haji. Di lain pihak, Kementerian Agama juga melakukan evaluasi haji secara menyeluruh.

Jadi temuan-temuan yang mereka peroleh, dikompilasi dengan opini-opini di luar, hasil pengamatan media, para bacpacker dan dijadikan sebagai daftar rekomendasi yang harus ditindak lanjuti oleh pemerintah.

Saya kira, sistem pelaksanaan haji kita itu sudah sangat baik, bahkan cukup maksimal. Sehingga dengan demikian, jangan sampai satu masalah terulang lagi di masa berikutnya. Kalu itu masih terjadi, berarti kita tidak mengalami kemajuan. Saya kira itu yang perlu kita garis bawahi bersama.
Erwin E Ananto - TIM JUMRAH