,

Strategi Dakwah Wali Songo Dalam Islamisasi Di Jawa

Strategi Dakwah Wali Sanga Dalam Islamisasi Di Jawa. Peran Wali Sanga dalam penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa nampaknya tidak dapat di sangkal lagi. Besarnya jasa mereka dalam mengislamkan tanah Jawa telah menjadi catatan yang masyhur dalam kesadaran masyarakat Islam Jawa. Ada yang menganggap “Wali Songo” ­lah perintis awal gerakan dakwah Islam di Indonesia. 

Karena jika dilihat pada fase sebelumnya, Islamisasi di Nusantara lebih dilaksanakan oleh orang-perorangan tanpa manajemen organisasi. Tetapi dalam kasus Wali Songo ini, aspek manajemen keorganisasian telah mereka fungsikan. Yakni, mereka dengan sengaja menempatkan diri dalam satu kesatuan organisasi dakwah yang diatur secara rasional, sistematis, harmonis, tertentu dan kontinyu serta menggunakan strategi, metode dan fasilitas dakwah yang betul-betul efektif.

Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa..” mengisyaratkan bahwa apabila berita tentang Wali Sanga dikumpulkan dan dipelajari, antara lain dari serat Wall Sanga dan dari Primbon milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan, maka didapati suatu kesimpulan, bahwa secara keseluruhan -kecuali Syeik Siti Jenar- Wali Sanga merupakan satu kesatuan organisasi. Yaitu organisasi yang dapat diidentikkan sebagai panitia ad hoc atau kanayakan (kabinet) urusan mengislamkan masyarakat Jawa.

mahrojan-wali-wali-jawa-festival-wali-songo-jl-raden-santri-gresik-budaya-dan-wisata-religi-gresikDalam hal ini, setiap orang dari mereka memegang peranan dan bertanggungjawab sebagai ketua bagian, seksi atau nayaka (menteri) dan sebagainya dalam organisasi dakwah Wali Sanga itu. 

Dan mereka sering berkumpul bersama, mengadakan sesuatu, merundingkan berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan perjuangan mereka. Bukti lain yang menunjukkan Wali Sanga sebagai kesatuan organisasi, adalah peristiwa pembangunan masjid Demak, dimana dalam peristiwa itu tercermin sebuah kerjasama dan gotong royong tmtuk kepentingan dan tujuan yang lama; yaitu untuk kepentingan syiar agama Islam.

Untuk menunjukkan bahwa lembaga dakwah Wali Sanga bersifat teratur dan kontinyu, Saudi Berlian dalam menyunting bukunya Widji Saksono, menunjukkan paling tidak lembaga Wali Sanga telah mengalami empat kali periode sidang penggantian `pengurus’.

Periode I: Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad al-Kubra, Muhammad al-Maghribi, Malik Israil, Muhammad al-Akbar, Hasanuddin, Aliyuddin dan Subakir.

Periode II: Komposisi kepengurusan dilengkapi oleh Raden Rahmad Al Rahmatullah (Sunan Ampel) menggantikan Malik Ibrahim yang telah wafat, Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) menggantikan Malik Israil yang telah wafat, Syaril Hidayatullah menggantikan Al-Akbar yang telah wafat.

Periode III: masuk Raden Paku (Sunan Girl) menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai, Raden Said (Sunan Kalijaga) menggantikan Syeikh Subakir yang kembali ke Persia, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) menggantikan Maulana Hasanuddin yang telah Wafat, Raden Qasim (Sunan Drajat) menggantikan Aliyuddin yang telah wafat.

Periode IV: masuk Raden Hasan (Raden Fatah) dan Fathullah Khan, keduanya menggantikan Ahmad Jumad al-Kubra dan Muhammad al-Maghribi. Periode V: masuk Sunan Muria. Tidak dijelaskan tokoh Ini menggantikan siapa, tetapi besar kemungkinan menggantikan Raden Fatah yang naik tahta sebagai Sultan I Demak

Selanjutnya, dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa, Wali Sanga telah menggunakan beberapa strategi dan metode dakwah. Di antaranya adalah dengan memobilisasi semua alat ta’tsir psikologis yang berupa sensasi, conciliare, sugesti, hipnotis sampai de cere. Karena sensasi inilah, masyarakat awam dipaksa secara halus untuk menaruh perhatian kepada para Wali dan mengesampingkan yang lainnya. Karena conciliare, publik akhirnya mengganggap penting apa saja yang datang dari para Wali.

Karena sugesti, rakyat didorong berbuat sesuatu sehingga bergerak tanpa banyak tanya. Karena hipnotis, rakyat terpukau akan segala sesuatu yang bermerk para Wall tanpa banyak selidik dan kritik. Selanjutnya karma de cere,-para Wali dapat mengendalikan dan mengarahkan awam sebagai obyek dakwahnya ke mana raja yang mereka kehendaki. Selain strategi yang bersifat psikilogis, Wali Sanga juga menerapkan strategi (pendekatan) politis. Ini tercermin dalam langkah-langkah yang diambil terutama oleh Raden Patah ketika mendirikan Kerajaan Demak (Sofwan, 2000: 258).

Widji Saksono mencatat, bahwa Wali Sanga meneladani pendekatan Rasulullah SAW. dalam berdakwah, yaitu Bil Khikmati wal maudzotil khasanati wa jaadilhum billatii hiya akhsan. Wali Sanga memperlakukan sasaran dakwah, terutama tokoh khusus, dengan profesional dan istimewa, langsung pribadi bertemu pribadi. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tazkir) tentang Islam, peringatan-peringatan dengan lemah lembut, bertukar pikiran dari hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian. Metode Ini dapat dilihat pada kasus Sunan Ampel ketika mengajak Ariya Damar dari Palembang masuk Islam. Juga pada Sunan Kalijaga ketika mengajak Adipati Pandanarang di Semarang untuk masuk Islam.

Dalam pendekatan Bil Hikmah, Wall Sanga menggunakannya dengan jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif dan sensasional. Pendekatan Ini mereka pergunakan terutama dalam menghadapi masyarakat awam. Dalam rangkaian Ini kita dapati kisah Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekaten-nya. Atas usul Sunan Kalijaga, maka dibuatlah keramaian Sekaten atau Syahadatainyang diadakan di Masjid Agung dengan memukul gamelan yang sangat unik, baik dalam hal langgam dan lagu maupun komposisi instrumental yang telah lazim selama ini. Begitu juga dakwah Sunan Kudus dengan lembut yang dihias secara unik dan nVentrik. Apabila kedua pendekatan ini tidak berhasil, barulah mereka menempuh jalan lain yaitu Al-Mujadalah billati hiya ahsan. Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap tokoh yang secara terus terang menunjukkan sikap kurang setuju terhadap Islam.

Wali Sanga juga memakai strategi tarbiyyah al-‘ummah, terutama sebagai upaya pembentukan dan penanaman kader, serta strategi penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Sunan Kalijaga misalnya, mengkader Kiai Gede Adipati Pandanarang (Sunan Tembayat) dan mendidik Ki Cakrajaya dari Purworejo, kemudian mengirimnya ke Lowanu untuk mengislamkan masyarakat di sana.

Sunan Ampel mengkader Raden Patah kemudian menyuruhnya berhijrah ke hutan Bintara, membuat perkampungan dan kota baru dan mengimami masyarakat yang baru terbentuk itu. untuk penyebaran juru dakwah dan pembagian wilayah kerja Wali Sanga, digambarkan oleh Mansur Suryanegara, mempunyai dasar pertimbangan geostrategis yang mapan sekali. Pembagian itu memakai rasio 5 : 3: 1.

Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Wali. Di sini ditempatkan 5 Wall dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah wafat, wilayah ini diambil alih oleh Sunan Girl. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Berkumpulnya kelima Wali di Jawa Timur adalah karna kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto.

Di Jawa Tengah, para Wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria. Sasaran dakwah para Wali di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang di Jawa Timur. Di Jawa Tengah, dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan Hindu dan Budha sudah tidak berperan, tetapi realitas masyarakatnya masih banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Sehingga dalam berdakwah, Wali Sanga jejak-islam-di-indonesia-lanjutan-11-638di Jawa Tengah ini banyak menggunakan instrumen budaya lokal, seperti wayang, gong gamelan dan lain-lain, untuk dimodifikasi sesuai dengan ajaran Islam.

Saat berlangsung aktivitas ketiga Wali tersebut, pusat kekuasaan politik dan ekonomi beralih ke Jawa Tengah, ditandai dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan munculnya Kerajaan Demak, yang disusul kemudian dengan lahirnya Kerajaan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geostrategis yang menentukan.

Sedangkan di Jawa Barat, proses islamisasinya hanya ditangani oleh seorang Wali, yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan pertimbangan saat itu  penyebaran ajaran Islam di Indonesia Barat, terutama di Sumatera dapat dikatakan telah merata bila dibandingkan dengan kondisi Indonesia Timur. Adapun pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, hal itu tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yangberasal dari Indonesia Timur.

Dan Cirebon merupakan merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa Tengah, Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Oleh karna itu, pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, mempunyai nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan Islam selanjutnya.

Demikianlah beberapa strategi dan pendekatan yang dipakai oleh Wali Sanga dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dan apabila dikaji lebih mendalam, maka akan didapati beberapa bentuk metode dakwah Wali Sanga, di antaranya:

Pertama, melalui perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi di antaranya bahwa Raden Rahmad (Sunan Ampel ) dalam rangka memperkuat dan memperluas dakwahnya, salah satunya, dengan menjalin hubungan geneologis. Beliau menekankan putrinya, Dewi Murthosiah dengan Raden Ainul Yakin dari Giri. Dewi Murthosimah dengan Raden Patah. Alawiyah dengan Syarif Hidayatullah. Dan putrinya yang lain, Siti Sarifah dengan Usman Haji dari Ngudung.

Kedua, dengan mengembangkan pendidikan pesantren. Langkah persuasif dan edukatif ini mula-mula dipraktekkan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, kemudian dikembangkan dan mencapai kemajuannya oleh Sunan Ampel di desa Ampel Denta, Surabaya.

Ketiga, mengembangkan kebudayaan Jawa dengan memberi muatan nilai-nilai keislaman, bukan saja pada pendidikan dan pengajaran tetapi juga meluas pada bidang hiburan, tata sibuk, kesenian dan aspek-aspek lainnya. Seperti Wayang, Sekatenan, Falasafah wluku lan pacul Sunan Kalijaga.

Keempat, metode dakwah melalui sarana prasarana yang berkaitan dengan masalah perekonomian rakyat. Seperti tampilnya Sunan Majagung sebagai nayaka (mentri) unison ini. Beliau memikirkan masalah halal-­haram, masak-memasak, makan-makanan dan lain-lain. Untuk efesiensi kerja, beliau berijtihad dengan menyempurnakan alat-alat pertanian, perabot dapur, barang pecah-belah. Begun juga Sunan Drajat tampil dengan menyempurnakan alat transportasi dan bangun perumahan.

Kelima, dengan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Girl tampil sebagai ahli negara Wali Sanga, yang menyusun peraturan-­peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara keraton. Begitu juga Sunan Kudus yang ahli dalam perundang-undangan, pengadilan dan mahkamah. Sebagai penutup untuk pembahasan tentang islamisasi Jawa oleh Wali Sanga, setidaknya ada dua faktor elementer yang menopang keunggulan don keistimewaan dakwah para Wali. Pertama, inklusivitas para Wali dalam melihat ajaran Islam. Kedua, potensi dan keunggulan vang dimiliki oleh para Wali. -Mereka telah membuktikan diri sebagai mujtahid yang memahami Islam tidak saja sebagai teori abstrak, tetapi juga sebagai realitas historic kemanusiaan. (ISNA)

pcnu-cilacap